Thursday, June 30, 2016

Mesjid Darul Uloom, Holland Park, dan Gold Coast

SENIN, 6 JULI 2015.  DARUL ULOOM MOSQUE.
Cerita ke-13 dalam seri Ramadan Down Under

Pengemudi Translink 66 menekan sebuah tombol dekat dashboard dan perlahan pintu depan bus yang dikemudikannya menutup.  Bus layanan Queensland selatan dan tenggara itu meluncur dari UQ Lakes station ke arah kota melewati Schonell Bridge.  Jembatan yang namanya diambil dari nama tokoh pendidik Australia yang menjadi vice-chancellor University of Queensland tahun 1960-1969 itu hanya boleh dilalui oleh bus umum, pesepeda, dan pejalan kaki.

Hari ini aku, Taruna, Mira, Aruni, Rasyid, dan Tari melanjutkan acara Safari Ramadan.  Mira dan Aruni melihat-lihat Google Maps di ponselnya sambil memperhatikan jalan yang kami lalui.  Tujuan kami adalah Australian International Islamic College (AIIC) atau Darul Uloom Academy di mana Darul Uloom Mosque berada.  Sekolah dan mesjid ini berlokasi di 6 Agnes St, Buranda, Queensland.

Mira memencet tombol stop bus.  Kami turun di halte Princess Alexandra Hospital atau biasa disebut PA Hospital.  Rumah sakit ini menggunakan nama cucu termuda King George V dan Queen Mary.

“Nah, tuh persis di seberang rumah sakit ada butcher halal, PA Butcher, pilihan lain kalo cari di Ismail nggak ada,” kata Aruni. 

Ismail yang dimaksud adalah Ismail’s Halal butcher di Fortitude Valley, tempat kami biasa membeli daging sapi dan ayam.

Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, tibalah kami di sebuah masjid yang berada di lantai 2 sebuah sekolah atau madrasah.  Kami mendapati jamaahnya kebanyakan adalah warga Australia keturunan Bangladesh.  Uniknya, mereka dapat mengucapkan beberapa patah bahasa Indonesia, seperti “apa kabar” dan “selamat pagi”.  Rupanya mereka sempat mengenal bahasa nasional kita itu saat terdampar di Indonesia dalam pelarian mereka dari kampung halaman menuju benua di sisi selatan ini.

“How long did you stay in Indonesia?” tanyaku.

“Three months.”

“Yeah, that’s enough to learn Indonesian.  What language did you speak in Bangladesh?”

“Bengali.”

Hahaha, aku baru sadar, ternyata Bangladesh dan Bengali memiliki akar kata yang sama.  Dengan sendirinya aku menyimpulkan kalau sapi benggala berasal dari Bangladesh karena namanya serupa dengan dua kata itu.

“You felt missing your homeland and your friends, didn’t you?”

“Not really.  Living here is better.  We’ve got jobs, make money, and have a car. Please stay till tarawih.  I’ll give you a ride home.”

“Hmm, that would be nice, thank you but we can’t.  We are leaving after the iftar.”

Menempel dengan masjid dan madrasah itu, ada beberapa kamar kos.  Mereka bilang, salah satu penghuninya adalah mahasiswa dari Indonesia.  Sayangnya kami tak sempat berjumpa dengannya.
Selesai berbuka dan shalat maghrib berjamaah, kami turun ke bawah.  Takmir mesjid telah menjajarkan makanan berat di dua tiga meja kecil.
Hidangan buka puasa petang itu adalah nasi goreng Bangladesh yang menurut ukuran nasgor abang-abang terlalu berminyak.  Pada saat yang sama, di UQ, perhimpunan mahasiswa Bangladesh juga tengah mensponsori acara buka puasa di MFC.  Salah satu teman yang ikut buka puasa di sana juga mengatakan bahwa hidangan buka puasa di sana sama, nasi goreng Bangladesh yang kaya akan minyak.

Buka puasa di tempat ini berlangsung ceria dan sangat cair karena jamaahnya senang bercanda.  Ada satu orang yang dituakan tak bosan-bosan menawari kami makanan tambahan yang ia bawa dari rumah.  Brother di sebelahku mengatakan bahwa Pak Tua itu adalah tetua mesjid, orang yang sangat baik, selalu memakmurkan mesjid dan menghidupkan suasana.

Kenyang dengan makanan dan perkenalan yang penuh canda, kami pulang dengan hati yang cerah.  Kami kembali ke UQ untuk shalat tarawih.  Tiap safari Ramadan memang kami rencanakan untuk buka puasa dan shalat maghrib saja karena khawatir tak mendapat angkutan umum untuk kembali.  Walaupun kebanyakan bus beroperasi hingga lewat tengah malam namun untuk daerah-daerah tertentu bus terakhir kembali ke kandang lebih cepat.

RABU, 8 JULI 2015.  HOLLAND PARK MOSQUE.

Dua hari setelah Masjid Darul Uloom, kami mengunjungi mesjid tertua di ibukota ini Queensland ini, Brisbane Mosque atau lebih dikenal sebagai Holland Park Mosque.  Mesjid ini terletak di 309 Nursery Rd, Holland Park, Queensland.  Pertama kali dibangun tahun 1908, kemudian di tahun 1970 bangunan baru didirikan untuk menggantikan yang lama.

Di bagian depan dinding luar mesjid putih ini terpampang kutipan ayat 18 surah At-Taubah beserta terjemahannya: “He only shall tend Allah’s sanctuaries who believeth in Allah and the last day” (Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir).  Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa memakmurkan mesjid bermakna selalu menghidupkan shalat berjamaah, beribadat di dalamnya, dan memelihara kondisi fisik dan fasilitasnya.


Aruni, Tari, Nadiya, dan Taruna di depan Brisbane Mosque (Holland Park Mosque).

Seseorang menyapa dari serambi mesjid, “Hi, where are you from?”

“We are students from UQ.”

“UK?”

“No. UQ, University of Queensland.”

Pengurus mesjid itu ramah menyambut kami.  Katanya tiap subuh ada seorang jamaah dari Indonesia yang rajin datang.  Ia juga menanyakan di mana lagi biasanya komunitas Indonesia shalat subuh berjamaah.  Mereka ingin sekali-sekali bersilaturahim shalat subuh berjamaah.

Kami mengatakan bahwa saat itu masyarakat Indonesia di Queensland tengah melalui IMCQ tengah menggalang dana untuk merintis pembangunan mesjid di Brisbane.  Sambil menunggu hal tersebut terealisasi, kami menggunakan bangunan kecil di Rocklea sebagai tempat berkumpul dan shalat seperti musala.

KAMIS, 9 JULI 2015.  GOLD COAST MOSQUE.

Dua pertiga Ramadan telah berlalu.  Ada satu mesjid lagi dalam agenda safari Ramadan kami.  Gold Coast Mosque adalah mesjid terakhir yang kami kunjungi tahun ini.  Mesjid yang terletak di Cnr Allied Cr & Olsen Ave, Arundel, Queensland ini adalah mesjid terbesar yang kami kunjungi dalam Safari Ramadan ini dan satu-satunya yang memiliki pengeras suara di bagian luar bangunan sehingga suara adzannya terdengar dari luar.  Jelas sekali syiar Islamnya lebih terasa.

Kami datang tepat pada hari terakhir acara buka puasa bersama di masjid ini.  Menurut informasi dari Singgih Gunarsa, mahasiswa UQ kampus Gold Coast yang berjumpa dengan kami petang itu, esok hari hingga akhir Ramadan, mesjid Gold Coast ini tidak lagi menggelar buka puasa bersama.
Suasana buka puasa sangat ramai seperti bazar.  Ritme dari buka puasa, shalat, dan makan besar berlangsung cepat.  Anak-anak para jamaah ikut berlari-lari di antara jamaah.  Betul-betul seperti di kampung sendiri :)

BERSAMBUNG ke Cerita ke-14 Migrasi bukber MFC
dalam seri Ramadan Down Under

No comments: