Monday, June 27, 2016

Soto Betawi di bukber IISB

AHAD, 28 JUNI 2015
Cerita ke-10 dalam seri Ramadan Down Under

Sejak pagi, Taruna sudah sibuk mengkoordinasi para relawan untuk menyukseskan acara buka puasa petang nanti di University of Queensland (UQ), St Lucia.  Ini adalah satu dari empat rangkaian buka puasa bersama (bukber) yang disponsori oleh Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB), setelah seminggu sebelumnya diadakan di QUT (Queensland University of Technology) dan pekan-pekan berikutnya di IMCQ Hall Kuraby dan Griffith University.

Pukul 09.30 acara bertajuk “Iftar dan Tausiyah IISB” telah dimulai dengan acara Pesantren Kilat TPA di Multifaith Chaplaincy Centre (MFC).  Cut Monalisa dan kawan-kawan membimbing anak-anak belajar dalam keceriaan.  Ba’da ashar, Nilam memandu acara Tausiyah yang menghadirkan Ustadz Yusni dari PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat).

 
Ustadz Yusni tengah memberikan tausiyah.

Di saat yang sama, kesibukan memuncak di kediaman Mas Kamil dan Mbak Swasmi.  Unit rumah di Warren Street itu menjadi pusat penyiapan hidangan berbuka puasa.  Beberapa bahan seperti bawang goreng, kentang goreng dadu, kuah soto, dan telur rebus telah di-subkontrakkan penyiapannya di beberapa relawan yang bersedia memasakkan.  Setelah siap, mereka mengirimnya ke rumah ini.  Namun setelah dikira-kira lagi, jumlah kentang goreng dadu masih jauh dari mencukupi.  Seorang relawan segera kabur ke supermarket Coles untuk belanja 10 kilogram kentang lagi berikut beberapa jenis bumbu dapur.

Eka, Faiq, dan Galih penuh semangat mengemas nasi untuk hidangan buka puasa.

Praktis hari itu dapur Mbak Swasmi berantakan abis, lebih parah daripada Titanic atau kapal Van der Wijck.  Mangkuk plastik sekali pakai bertumpukan di mana-mana.  Separuhnya sudah diisi nasi putih oleh Eka, Faiq, dan Galih.  Ibu-ibu seperti Puri dan Mbak Ambar membubuhi nasi itu dengan potongan kentang goreng, tomat merah, telur rebus, dan bawang goreng lalu mengemasnya dengan tutup mangkuk yang kadang pas kadang tidak.  Rupanya ada dua ukuran mangkuk plus penutup yang diameternya berselisih satu atau dua milimeter tetapi cukup merepotkan saat dipasang karena tidak bisa “klik”.

Di garasi, Mas Kamil tak sempat berehat lama-lama.  Ia harus menghidupkan mesin mobilnya lagi lalu mengangkut semua logistik ke UQ MFC, lokasi berbuka puasa.  Matahari sudah condong ke barat.

Aku dan Indra menjemput kontribusi makanan tambahan dari para permanent residents (PR), mulai dari buah-buahan, jajan pasar, hingga hidangan pencuci mulut.  Baru kutahu, ternyata beberapa PR sudah menetap di negeri ini selama puluhan tahun.  Walaupun begitu, darah mereka masih merah putih, ikatan persaudaraan dengan warga negara Indonesia masih sangat erat walaupun sudah jauh dari tanah air.

Matahari makin mendekati cakrawala.  Aku tak sempat pulang untuk berganti pakaian.  Selepas shalat maghrib, kuah soto dalam panci-panci besar sudah menunggu untuk dituangkan ke dalam mangkuk yang sudah dipegang para shaimin (orang-orang yang berpuasa).
Saat sibuk melayani para pengantre, tiba-tiba ada yang mencolekku dari belakang.

“Hi, Suryadi.”


Tiba-tiba ada yang muncul dari belakang ...

Aku terkesiap.  Ada seraut wajah cantik teruja penuh senyum.  Sesaat aku berusaha mengingat siapa gadis bertudung satin itu.

“Hmmm... Hi! It’s nice to see you.”

Sengaja tak kusebut namanya, takut salah.  Yang kuingat cuma satu, bahwa ia adalah gadis Malaysia.  Aku pernah melihatnya di suatu tempat.  Ini pasti salah satu dari dua Siti yang kukenal: Lyana atau Khadijah.  Lyana adalah teman sekelasku di mata kuliah Wise Leadership bersama Nanda, Motaz, dan Farah.  Sementara Khadijah adalah alumni UQ yang baru kukenal kemarin saat Saturday Sketchout di Moorland’s House dekat Wesley Hospital.  Ia tak bertudung seperti Lyana namun boleh jadi di malam Ramadan ini ia berkerudung, pikirku.

Ia menunjuk menunjuk panci besar di hadapanku.

“What is that? What are you serving?”

“Oh, ni soto betawi.  Semacam sup dengan kuah bersantan. From my hometown.”
Bangga sekali aku menyebut “my hometown”, seolah-olah kuah soto yang sedang kuaduk-aduk ini baru saja diterbangkan dari Jakarta ke Brisbane.

“Sup daging lembu?”

“Ye, macam tu lah. Kenape?”  Kutimpali tuturan bahasa Melayunya.  Ia seperti ragu-ragu hendak mencoba soto daging sapi ini.

“Hmm, takpe.  Pasti sedap. Boleh bagi?”

“Boleh boleh.  This way, Sister.”

Kutunjukkan padanya antrean untuk para sisters (akhwat).

Setelah ia larut dalam kerumunan jamaah iftar, barulah kuingat.  Ia adalah Lyana.  Di Business School UQ, ia mengambil major (konsentrasi) Marketing yang harus diselesaikannya dalam masa satu setengah tahun, satu semester lebih panjang daripada masa studiku.  Kalau akhir tahun nanti aku wisuda, Lyana baru kembali ke Kuala Lumpur Juli 2016.

Setelah seluruh jamaah sudah mendapat masing-masing satu mangkuk soto, panitia mempersilakan mereka untuk masuk ronde kedua, tambah satu porsi atau bawa pulang alias tapau.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-11 Mesjid Al Farooq dan Darra
dalam seri Ramadan Down Under

No comments: